Makan Daging Sapi Pernah Dianggap Hal Tabu di Jepang, Ini Alasannya!
Jakarta – Jauh sebelum dikenal sebagai penghasil daging sapi berkualitas, Jepang pernah menganggap bahwa makan daging sapi adalah hal yang tabu. Ini alasannya!
Jepang dikenal dengan daging sapi wagyu, khususnya daging sapi kobe yang terkenal berkualitas. Dagingnya lembut, juicy, dan memiliki marbling yang cantik.
Karenanya banyak restoran steak menggunakan daging sapi yang didatangkan langsung dari Negeri Sakura tersebut. Jelas, ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Jepan
Namun jauh dari itu, masyarakat Jepang pernah menganggap bahwa makan daging sapi adalah hal yang tabu. Hal ini terjadi pada masa Kekaisaran Jepang beberapa tahun lalu.
Dikutip dari National Geographic (20/03/25) berikut faktanya!
1. Kaisar Jepang mendapat protes

Pada 18 Februari 1872, sekelompok biksu Buddha menerobos Istana Kekaisaran Jepang untuk bersama dengan sang kaisar. Mereka ingin memprotes kaisar karena makan daging sapi.
Saat itu, mengonsumsi daging sapi dianggap sebagai tindakan terlarang. Menurut para biksu, makan daging sapi termasuk krisis spiritual eksistensial bagi Kekaisaran Jepang.
Konsumsi daging sapi yang dilakukan oleh kaisar secara efektif mencabut larangan mengonsumsi hewan yang telah berlaku selama 1.200 tahun lamanya.
Dilansir dari Atlas Obscura, para biksu percaya bahwa tren baru makan daging dapat menghancurkan jiwa masyarakat Jepang.
2. Berkaitan agama dan praktis
Larangan tersebut dinilai berkaitan dengan agama dan praktis. Sebagian besar orang di Kekaisaran Jepang menghindari makan daging selama lebih dari 12 abad.
Daging sapi dianggap tabu, bahkan kuil-kuil tertentu menuntut puasa lebih dari 100 hari sebagai penebusan dosa karena mengonsumsinya.
Peralihan Jepang dari daging ini dimulai dengan masuknya agama Buddha dari Korea pada abad ke-6. Saat itu, masyarakat di Kekaisaran Jepang adalah pemakan daging.
Awalnya mereka makan daging rusa dan daging babi hutan. Dari golongan bangsawan pun senang berburu dan menyantap isi perut rusa dan unggas liar.
Padahal agama Buddha mengajarkan bahwa manusia bisa bereinkarnasi menjadi makhluk hidup lain, termasuk hewan. Pemakan daging berisiko memakan nenek moyang mereka yang bereinkarnasi.
3. Menjadi sebuah budaya

Prinsip-prinsip Buddha yang menghormati kehidupan dan menghindari pemborosan, terutama dalam hal makanan itu kemudian perlahan mulai membentuk sebuah budaya.
Prinsip tersebut pun kemudian meresap ke dalam kepercayaan asli Shinto. Pada tahun 675, Kaisar Tenmu mengeluarkan dekrit resmi pertama tentang larangan konsumsi daging.
Larangan tersebut berlaku untuk semua jenis daging, seperti sapi, kuda, anjing, ayam, dan monyet selama puncak musim pertanian dari bulan April hingga September.
Seiring berjalannya waktu, praktik ini pun semakin diperkuat dan diperluas menjadi hal tabu sepanjang tahun. Namun, larangan daging juga mempunyai akar sekuler.
4. Pola makan masyarakat Jepang

Jika menelisik lebih jauh lagi, sebelum agama Buddha masuk, daging bukanlah bagian penting dari pola makan masyarakat di Kekaisaran Jepang.
Mengingat Jepang merupakan negara Kepulauan, sehingga selalu mengandalkan ikan dan makanan laut lainnya sebagai makanan pokok. Menurut sejarawan Naomichi Ishige, protein dicerna dari nasi, bukan dari daging atau susu.
Selain itu, memelihara hewan membutuhkan banyak sumber daya. Karenanya, para petani Jepang yang bekerja dengan lahan terbatas di negara kepulauan pegunungan sangat menghindari berternak.
Namun, lain halnya jika seseorang memakan daging hewan liar. Bangsawan Jepang tidak pernah sepenuhnya menghentikan praktik ini.
Ada catatan pajak yang harus dibayarkan dan hadiah yang dikirimkan kepada kaisar dalam bentuk daging babi, sapi, atau bahkan susu.
5. Dianggap tabu tapi dipercaya sebagai obat

Daging sapi masih dianggap tabu di kalangan kelas atas. Namun, seringkali dipercaya sebagai makanan khusus yang berkhasiat sebagai obat.
Bahkan biksu Buddha kadang-kadang boleh mengonsumsi daging atas perintah dokter. Pada abad ke-18, Klan Hikone pernah mengirimkan hadiah tahunan berupa acar daging sapi dengan sake kepada shogun dalam paket berlabel obat.
Sementara itu, burung lebih diterima sebagai bahan makanan dibandingkan mamalia, termasuk lumba-lumba dan paus. Menurut sejarawan Ishige, seseorang yang makan daging hewan berkaki empat setelah kematiannya akan bereinkarnasi menjadi hewan berkaki empat.
Selain itu, pemerintah menyatakan bahwa siapapun yang memakan kambing liar, serigala, kelinci, atau anjing rakun diharuskan bertobat selama 5 hari sebelum mengunjungi kuil.
Mereka yang makan daging babi atau daging rusa diharuskan bertobat selama 60 hari. Bagi pemakan daging sapi dan kuda, harus bertobat selama 150 hari.
Lambat laun, pemerintahan Meiji mulai menghilangkan pantangan kuno tersebut. Mereka mendirikan perusahaan untuk memproduksi daging dan produk susu.
Kaisar sendiri menyantap daging untuk merayakan Tahun Baru pada tahun 1872. Hal ini berhasil meyakinkan masyarakat Jepang untuk meninggalkan kebiasaan pantang daging.